Jamu: Cinta yang Diracik, Bukan Dideklarasikan

Catatan dari Lomba Menulis Jamu Nusantara 2025
07/03/2025
Meracik Warisan Budaya Menjadi Kreasi Masa Kini: Jamu Sebagai Gerakan Inovatif Pendidikan Budaya Sehat
07/04/2025

Jamu: Cinta yang Diracik, Bukan Dideklarasikan
Oleh: Ripan – Purwakarta
Juara 1 Lomba Menulis Jamu Nusantara 2025: Meracik Warisan Budaya Menjadi Kreasi Masa Kini

Pagi itu, aku terdiam di teras. Angin menggulung daun pisang yang mulai mengering, pelan seperti ingatan. Di tanganku, segelas kunyit asem—jingga warnanya, seperti senja yang menyimpan luka. Pahitnya jujur, tak mencoba merayu lidah. Aromanya… ah, aroma yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa membuat hati pulang ke masa lalu yang entah kapan pernah kurasakan.

Di rumah nenek, jamu bukan sekadar minuman. Ia adalah ritual. Ada tangan keriput yang mengulek rempah dengan gerakan yang nyaris menyerupai doa. Ada wajan tanah liat yang menguarkan harum jahe, kunyit, temulawak, dan daun-daun yang tak disebutkan namanya, karena katanya, lebih baik tidak semuanya diketahui, biar tetap manjur. Jamu adalah warisan, tapi bukan yang disimpan di brankas. Ia diwariskan lewat rasa, lewat telapak tangan, lewat batuk yang disembuhkan diam-diam.

Namun waktu tak pernah diam. Ia terus berjalan membawa kita menjauh dari lesung ke blender, dari daun ke kemasan, dari racikan nenek ke label nutrisi. Anak-anak sekarang tumbuh bersama iklan sirup dan minuman berkarbonasi. Segala sesuatu harus manis, instan, dan berdesain menarik. Jamu? Ah, katanya itu hanya untuk orang tua. Pahit. Ribet. Kuno. Tapi mereka lupa, bahwa dalam tiap tetesnya tersembunyi kekuatan alam yang telah diuji bukan sekadar oleh laboratorium, tapi oleh waktu.

Kunyit, misalnya, mengandung kurkumin: senyawa anti-inflamasi alami yang kini dikagumi dunia medis (Hewlings and Kalman, 2017). Jahe? Bukan hanya penghangat tubuh, tapi juga penurun gula darah yang efektif (Daily et al., 2015). Temulawak? Pelindung hati yang tak kalah dari suplemen kimia (Pramono et al., 2018). Dan daun sirih? Antiseptik alami yang menjaga rongga mulut hingga organ dalam (Mughni, 2025).

Kini, jamu tak lagi berdiri sendiri sebagai folklore. Ia telah menyeberang ke dunia ilmiah. Pemerintah Indonesia bahkan mengklasifikasikannya sebagai Obat Bahan Alam (OBA)—produk herbal yang telah diuji praklinis dan klinis. Beberapa bahkan naik kelas menjadi fitofarmaka, obat herbal terstandar yang legal dan ilmiah (BPOM, 2021). Ini bukan sekadar kisah warisan, ini tentang transformasi budaya sehat berbasis lokal.

Namun, promosi budaya minum jamu bukan soal kembali ke masa lalu. Ini soal menyusun masa depan. Kita tidak harus mengulek dengan lesung setiap pagi. Kita bisa menyisipkannya dalam smoothie. Mengemasnya dalam kapsul. Menyajikannya dingin dalam botol kaca di kafe urban, berdampingan dengan kombucha dan matcha.

Aku membayangkan… anak-anak kota tumbuh dengan gadget di satu tangan dan botol jamu modern di tangan lainnya. Mereka mengenalnya bukan karena dipaksa, tapi karena disadarkan. Bahwa menjaga tubuh bukan sekadar membentuk otot, tapi juga tentang menciptakan harmoni antara tubuh dan alam.

Jamu bukan hanya obat. Ia adalah identitas. Ia adalah cinta yang pernah ditinggalkan, tapi tak pernah benar-benar pergi. Dan seperti cinta sejati, ia hanya menunggu untuk diseruput kembali dengan cara yang lebih segar, lebih modern, tapi tetap tulus dari akar.

Dan saat kita minum jamu hari ini, kita sedang meneguk lebih dari sekadar cairan pahit. Kita sedang minum sejarah. Kita sedang menyelamatkan warisan. Kita sedang menanam masa depan. Karena sejatinya, meracik jamu adalah meracik harapan dari rempah, dari cinta, dari budaya yang tak pernah lekang oleh musim.

Referensi:
BPOM (2021) Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Pedoman Uji Farmakodinamik Praklinik Obat Tradisional. Available at: https://jdih.pom.go.id/download/flip/1282/18/2021.

Daily, J.W., Zhang, X., Kim, D.S. and Park, S. (2015) ‘Efficacy of Ginger for Alleviating the Symptoms of Primary Dysmenorrhea: A Systematic Review and Meta-analysis of Randomized Clinical Trials’, Pain Medicine, 16(12),
pp. 2243–2255. Available at: https://doi.org/10.1111/pme.12853.

Hewlings, S. and Kalman, D. (2017) ‘Curcumin: A Review of Its Effects on Human Health’, Foods, 6(10), p. 92. Available at:
https://doi.org/10.3390/foods6100092.

Mughni, A. (2025) 5 Manfaat Daun Sirih, Cegah Bau Mulut hingga Keputihan, JURNAS.com. Available at: https://www.jurnas.com/artikel/173966/5-Manfaat-Daun-Sirih-Cegah-Bau-Mulut-hingga-Keputihan/ (Accessed: 6
June 2025).

Pramono, S., Arifah, F.H., Pribadi, F.H. and Nugroho, A.E. (2018) ‘Hepatoprotective Activity of Curcuma xanthorrhiza Roxb. Paracetamol-induced Liver Damage in Rats and Correlation with Their Chemical Compounds’, The Thai Journal of Pharmaceutical Sciences, 42(4), pp. 188–195. Available at: https://doi.org/10.56808/3027-7922.2366.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *