ingginya permintaan masyarakat terhadap obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO), memicu tingginya peredaran produk ini di pasaran.
Untuk menanggulangi obat yang berbahaya bagi kesehatan dan mengancam keamanan konsumen ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencanangkan kelompok kerja nasional (pokjanas).
Pokjanas penanggulangan obat tradisional mengandung bahan kimia obat (BKO) ini melibatkan lintas sektor terkait, di antaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Dinas Kesehatan, dan asosiasi pelaku usaha.
Kepala BPOM Lucky Umar Said mengatakan, obat tradisional sebagai warisan budaya bangsa, saat ini telah berkembang pesat serta mempunyai peranan penting dalam sistem kesehatan nasional dan peningkatan perekonomian masyarakat.
Pada tahun 2011 nilai perdagangan produk ini mencapai Rp11 triliun, dan meningkat menjadi Rp13 triliun di tahun 2012.
Nilai perdagangan tersebut berasal dari 80 pelaku usaha industri obat tradisional, kurang lebih 1.400 pelaku usaha kecil dan usaha menengah. Namun, berdasarkan hasil pengawasan BPOM ada beberapa obat tradisional yang beredar mengandung BKO.
Data pengawasan BPOM dari tahun 2007 hingga 2012 menunjukkan persentase obat tradisional mengandung BKpo berturut-turut adalah 1,65%, 1,27%, 1,06%, 0,83%, 1,77% dan 1,89%. Selama periode 2008-2012, BPOM telah memusnahkan sebanyak 1,9 juta produk ini.
“Hasil pengawasan tersebut menunjukkan bahwa obat tradisional mengandung BKO masih marak beredar di masyarakat. Hal ini ditengarai karena masih banyaknya supply dan demand, ” kata Lucky, saat peluncuran pokjanas penanggulangan obat tradisional BKO, di Jakarta, Senin (7/4) siang ini.
Ia mengatakan, permintaan masyarakat terbentuk karena sebagian masyarakat menganggap obat tradisional mengandung BKO mampu memberikan kesembuhan secara cepat. Kebutuhan masyarakat ini dimanfaatkan oleh produsen untuk memperoleh
keuntungan besar dalam waktu relatif singkat dengan menyediakannya.
Menurutnya, upaya penanggulangan obat tradisional mengandung BKO dilakukan melalui mekanisme supply dan demand reduction. Hal ini sejalan dengan sistem tiga pilar pengawasan obat dan makanan yang dikembangkan BPOM, di mana pelaku usaha dan masyarakat sama-sama turut berperan dalam sistem pengawasan obat dan makanan.
Pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan, manfaat dan mutu produk yang dihasilkannya, sementara masyarakat diharapkan berdaya dan dapat melindungi diri dari obat serta makanan yang berisiko terhadap kesehatan, termasuk obat tradisional yang mengandung BKO.
Oleh karena itu, kata Lucky, tugas utama pokjanas ini antara lain melaksanakan pemberantasan obat tradisional BKO dalam upaya menurunkan supply, yang dikoordinasikan oleh satgas pemberantasan obat dan makanan ilegal, serta melakukan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) kepada masyarakat dalam upaya menurunkan permintaan.
Pemberantasan obat tradisional mengandung BKO dilakukan melalui pembersihan pasar, inspeksi rutin dan penajaman prioritas sampling.
Di samping itu, pengawasan ketat terhadap produsen yang sudah teridentifikasi memproduksi obat tradisional mengandung BKO. Sementara KIE kepada masyarakat dilakukan melalui pameran, talk show dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya produk ini.
“Diharapkan melalui pokjanas ini, masyarakat dapat terlindungi dari obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat, yang berisiko terhadap kesehatan, dan pelaku usaha tidak lagi memproduksi produk seperti ini,” katanya. [D-13]