31 August 2019, 04:55 WIB
Sekalipun jamu cekok seperti yang diproduksi oleh Jampi Asli katakanlah hingga sekarang belum melalui fase uji klinik, peredarannya tidaklah serta-merta dilarang. Malah sebaliknya pemerintah justru berkewajiban memberikan perlindungan demi kelestariannya.
Bagi warga Yogyakarta bagian selatan, bicara jamu untuk bayi bukanlah sebuah anomali. Silakan berkunjung ke sekitar kawasan Purawisata, atau dulu popular dengan nama THR (Taman Hiburan Rakyat). Lokasi tepatnya, yaitu di Jl Brigjen Katamso nomor 132, Kampung Dipowinatan, Kelurahan Keparakan, Kelurahan Mergangsan. Maka segera ditemui di sana sebuah warung jamu tradisional bernama “Jampi Asli”.
Lazimnya setiap pagi atau sore hari, di ruang yang sempit tersebut akan berjejal puluhan orang tua yang menggendong anak bayinya. Para ibu atau bapak ini memiliki bermacam keluhan yang diceritakan langsung kepada penjual jamu. Dari mengeluh anaknya sakit panas, pilek, susah makan, dan lain sebagainya.
Tangisan bayi pun terdengar merekah, saat ia di-“cekoki” jamu. Namun orang tua bayi percaya bahwa dengan minum jamu cekok, penyakit bayi itu akan segera hilang. Dan tampaknya bukan sekadar soal percaya, tapi senyatanya lebih dari itu. Jamu tradisional tersebut secara empiris selama ini terbukti manjur sebagai obat.
Yang menarik dicatat, kios jamu tradisional itu adalah salah satu yang tertua dan melegenda di Kota Gudeg itu. Bagaimana tidak, “Jamu Cekok” atau juga disebut “Jamu Kerkof”, sudah ada di sana sejak 1875. Artinya usia warung jamu itu sendiri telah menjelang satu setengah abad.
Istilah cekok berasal dari bahasa Jawa, mengacu pada cara atau metode pemberian jamu, yaitu dengan mencekokkan ke mulut anak. KBBI mendefinisikan sebagai obat tradisional yang dibuat dari ramuan rempah-rempah yang digiling dan dibungkus kain untuk diminumkan secara paksa dengan memeraskannya ke dalam mulut, biasanya untuk anak kecil.
Ya, memang demikianlah proses minum jamu bagi anak-anak usia balita di warung Jampi Asli. Ramuan jamu yang masih berupa campuran tumbuh-tumbuhan, rempah-rempah, setelah dihaluskan dan diseduh, kemudian dibungkus pada selembar kain kecil serupa sapu tangan. Anak yang akan dicekok biasanya dipangku oleh orang tuanya, posisinya agak berbaring, selanjutnya hidung anak dipencet sehingga mulutnya secara otomatis akan terbuka. Saat mulut terbuka, jamu yang telah disiapkan diperas di mulut anak sehingga masuk ke dalam mulut.
Juga dikenal dengan sebutan Jamu Kerkof. Dulu masyarakat Yogyakarta sering menyebutnya Cekok Kulon Kerkop. Penamaan Kulon Kerkop mengacu pada lokasi keberadaan warung. Kata kerkop diambil dari nama makam Belanda, kerkhof, sedangkan kulon dalam bahasa Jawa artinya sisi barat. Sehingga Kulon Kerkop dapat diartikan sisi barat atau depan makam Belanda. Penamaan Cekok Kulon Kerkop ditujukan untuk memudahkan orang mencari lokasi warung jamu tersebut.
Sebenarnya banyak resep jamu yang dijual di warung ini. Paling tidak terdapat 25 jenis jamu di jual di sana. Namun popularitas keberadaannya nisbi lebih lekat pada jamu cekok untuk anak ketimbang produk jamu lainnya. Di warung jamu ini sebenarnya juga disediakan jamu untuk berbagai penyakit bagi orang dewasa, dari soal bau keringat hingga asam urat, dari gatal-gatal hingga pengeroposan tulang, dan sebagainya.
Bicara sejarah kelahirannya, menurut penuturan Joni Winarko, ia merupakan generasi kelima dari tradisi jamuk cekok ini. Dalam mengolah jamu dan pemilihan bahan berkualitas diajarkan secara turun-temurun, secara otodidak, sebagai sebuah keahlian keluarga. Awalnya pendiri warung jamu “Jampi Asli” adalah Kertowiryo Raharjo. Sepeninggal Kertowiryo Raharjo, usaha jamu ini diteruskan oleh putranya yang bernama Karsowijoyo. Lantas masuk generasi ketiga, usaha ini dikelola oleh Abdul Rosid. Sedangkan generasi keempat ialah orang tua Joni Winarko, yaitu Zaelali.
Menariknya, dari 1875 hingga sekarang, merujuk Joni Winarko disebutkan bahwa warung Jampi Asli tetap mempertahankan bahan-bahan pilihan berkualitas dan sekaligus cara tradisional untuk mengolah seluruh produknya. Yang membedakan antara dulu dan sekarang, hanyalah pada penggunaan bahan bakar untuk memasaknya. Jikalau dulu menggunakan kayu bakar, maka kini menggunakan arang.
Revitalisasi Jamu hingga Fitofarmaka
Ilmu pengobatan tradisional dalam bentuk jamu merupakan tradisi warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Selain diturunkan secara lisan, metode pengobatan tradisional sebenarnya juga tercatat dalam naskah-naskah kuno. Sayangnya, hingga saat ini belum sepenuhnya dimanfaatkan atau diintegrasikan ke dalam ilmu pengobatan modern.
Implikasinya bentuk kearifan lokal ini bukan hanya terancam oleh dominasi industri kesehatan modern, bahkan bukan tak mungkin khazanah literaturnya pun bakal dilupakan masyarakat pewarisnya.
Dalam konteks inilah, mengingat kontribusi warung Jampi Asli bagi kesehatan warga Yogyakarta, dan menimbang citra melegenda warung tersebut karena usianya hampir satu setengah abad, maka pada 18 Desember 2014 Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan Penghargaan Anugerah Budaya. Jamu Cekok mendapat penghargaan untuk Kategori Lembaga dan Pelestari Adat Tradisi.
Dalam ilmu antropologi khususnya terkait isu medis, bicara pengobatan tradisional termasuk salah satu sisi kajian yang disebut etnomedisin. Etnomedisin secara etimologi berasal dari kata ‘ethno’ (etnis) dan ‘medicine’ (obat). Etnomedisin merupakan salah satu bidang kajian etnobotani, yang memaparkan pengetahuan lokal berbagai etnis dalam menjaga kesehatan masyarakatnya.
Merujuk hasil penelitian BALITBANKES (2015) yang berjudul Jamu dan Kesehatan edisi II disebutkan, 30,4 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional, di mana 77,8 persen rumah tangga memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat, dan 49,0 persen rumah tangga memanfaatkan ramuan. Sementara itu, Riskesdas 2010 menunjukkan 60 persen penduduk usia di atas 15 tahun menyatakan pernah minum jamu, dan 90 persen di antaranya menyatakan adanya manfaat minum jamu.
Dari sumber yang sama juga dicatat, penelitian yang bertajuk Riset Tumbuhan Obat dan Jamu I (Ristoja) pada tahun 2012 berhasil memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, terdapat 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan keberadaan para ahli pengobat tradisional sebanyak 1.183 orang. Sementara itu, hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman obat dari total 40.000 spesies yang ada di di seluruh dunia.
Menariknya kini, dari kacamata medis internasional juga telah muncul kesadaran untuk kembali memanfaatkan khasanah pengobatan tradisional. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia telah sepakat untuk memajukan pemanfaatan pengobatan tradisional, yaitu sebagai complementary medicine bagi kesehatan masyarakat modern. istilah yang dipakai, antara lain, “traditional medicine”, “complementary and alternative medicine”, “integrative medicine”, “medical herbalism”, “phytotherapy”, “natural medicine”, dan lain sebagainya. Dalam kerangka itulah, WHO mendorong pemanfaatan, keamanan dan khasiat pengobatan tradisional untuk dapat ditata melalui kerangka regulasi.
Indonesia, tak kecuali, juga telah mendorong proses revitalisasi pengobatan tradisional. Merujuk UU 36 Tahun 2019 tentang Kesehatan, regulasi payung hukum perihal penyelenggaraan kesehatan nasional juga sudah mengadopsi spirit revitalisasi obat tradisional tersebut. Kebijakan revitalisasi ini telah tertera pada Pasal 1 ayat (4), (9) dan (16) plus sebuah bab tersendiri yaitu Bagian Ketiga perihal Layanan Kesehatan Tradisional, dari Pasal 59 – 61.
Selain itu, pada Pasal 100 – 101 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk menjaga kelestarian obat tradisional hingga ketersediaan bahan bakunya. Juga pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional secara bertanggungjawab baik terkait manfaat dan keamanannya.
Pasal 100 ayat (1) menarik disimak bunyinya: “Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.”
Artinya, sekalipun barangkali jamu cekok seperti yang diproduksi oleh Jampi Asli di Yogyakarta, katakanlah hingga sekarang belum melalui fase uji klinik, namun peredaran tidaklah serta merta dilarang. Malah sebaliknya pemerintah justru berkewajiban memberikan perlindungan demi kelestarian keberadaannya.
Meskipun katakanlah tidak dilarang dalam proses penyebarannya, demikian status klaim khasiat jamu cekok belumlah divalidasi secara ilmiah. Di sini basis legitimasi jamu cekok ialah berbasis penerimaan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, namun bukan berbasis validasi ilmiah secara rasional.
Pasal 104 Ayat (2) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengarisbawahi aturan dan ketentuan tata kelola obat tradisional sebagai harus dilakukan secara “rasional.” Menindaklanjuti ketentuan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 381/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional; juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi juga telah dibuat Road Map Pengembangan Jamu 2011 – 2025.
Pada konteks inilah, kata “rasional” berarti obat tradisional tersebut haruslah melalui serangkaian uji pre-klinik dan uji klinik, plus standarisasi penggunaan bahan baku dan dibuat menggunakan fasilitas produksi yang memenuhi standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Setelah berbagai kaidah itu terpenuhi, maka barulah muncul apa yang disebut sebagai produk “fitofarmaka.”
Ketatnya persyaratan obat jamu menjadi produk kategori fitofarmaka mudah dipahami. Pasalnya, setelah sebuah obat jamu masuk kategori ini maka statusnya akan setara dengan obat sintetis modern lainnya, dan karena itu pemanfaatannya secara klinis bisa diresepkan oleh dokter. Namun sayangnya, hingga hari ini jumlah produk jamu yang telah masuk kategori fitofarmaka di Indonesia bisa dikata masih sangat sedikit. (W-1)
Sumber klik di SINI