Beberapa orang kadang meninggalkan pengobatan medis atau konvensionalnya dan beralih ke tradisional. Padahal pengobatan konvensional dan tradisional itu bukan pilihan, tapi merupakan teman.
“Jangan jadikan tradisional dan kovensional itu pilihan, ini adalah temenan karena itu namanya integrasi, pendekatannya sinergi,” ujar dr Abidinsyah Siregar, DHSM, MKes, direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, Komplementer, Direktorat jenderal Bina Gizi dan KIA Kemenkes, disela-sela acara pelantikan eselon I dan II Kemenkes, di Gedung kemenkes, Jakarta, Jumat (1/2/2013).
dr Abidinsyah menuturkan posisi tradisional itu komplementer atau melengkapi supaya proses penyembuhan jadi lebih cepat. Saat sakit kesehatan orang jadi turun, dengan tradisional bisa menambah stamina dan daya tahan tubuh.
“Orang yang menggunakan jamu jadi lebih enak, sehat. Tapi jangan tertipu lalu obatnya dibuang, ini perlu berbarengan. Pemahaman ini yang harus kita berikan terus menerus di masyarakat,” ungkapnya.
Sesuai dengan amanat UU 36 Tahun 2009 yang mana harus menyediakan 17 jenis pelayanan baik di rumah sakit maupun puskesmas sesuai proporsinya. Di dalam 17 jenis pelayanan itu terdapat pengobatan tradisional.
Untuk itu mulai diintegrasikan secara bersama antara pelayanan konvensional dengan tradisional. Sekarang in pengobatan tradisional ada di 53 rumah sakit dan 350 puskesmas.
“Masih sedikit memang karena bahan baku yang tersedia dan yang sudah uji klinik masih terbatas. Di Jakarta saya pikir paling tidak ada di 5 tempat sepertti RS Dharmais, RSCM, RS Persahabatan, RS AL Mintoharjo kemudian RS TNI Lakespra,” ujar dr Abidinsyah.
dr Abidinsyah mengungkapkan saat ini upaya yang dilakukan adalah menambah kurikulum ilmu kesehatan tradisional di dalam kurikulum ilmu kedokteran agar dokter-dokter di Indonesia siap menerima integrasi ini. (detik)