Jakarta – Humas BRIN. Perkembangan teknologi kesehatan yang semakin maju, ternyata tidak menyurutkan minat masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan di wilayah urban untuk menggunakan pengobatan secara tradisional. Hal itu tak lepas dari Indonesia yang mewarisi keragaman budaya dan kearifan lokal, salah satunya adalah pengobatan tradisional.
Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Manneke Budiman menyampaikan terdapat temuan lebih dari 50% masyarakat urban di 4 kampung lokasi riset di Jakarta dan Tangerang yang mengonsumsi obat tradisional/herbal. Lebih dari itu, di suatu lokasi juga memiliki tingkat kepercayaan terhadap khasiat obat tradisional yang cukup tinggi. Hal itu hampir sebanding dengan tingkat kepercayaan pada khasiat obat modern. Mereka juga banyak menanam sendiri berbagai tanaman herbal untuk pengobatan dengan sumber pewarisan pengetahuan secara tradisi lisan dari orangtua.
Temuan tersebut, disampaikan Manneke saat menjadi narasumber dalam acara Public Lecture Series #2 yang digelar oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Kamis, (27/04) secara daring. Kegiatan yang mengusung tema “Pengobatan Tradisional dan Modernitas Urban” itu menjadi rangkaian kegiatan dari seri kuliah umum yang menghadirkan narasumber dari para visiting researcher, program kolaborasi BRIN dengan para peneliti dari kalangan universitas dan industri.
Lebih lanjut, ia menjelaskan presentasi yang berjudul Pengobatan Tradisional dan Modernitas Urban: Memaknai Resistensi. Temuan itu diperolehnya dari hasil riset yang telah ia lakukan selama kurang lebih dua setengah tahun. Presentasi ini merupakan sebagian dari hasil riset Klaster Sosial-Budaya Hibah Riset Penelitian Internasional Terpadu Multi-Interdisiplin (PINTERMIDI) UI tentang dinamika rural-urban yang melibatkan peneliti dari berbagai Fakultas di UI, khususnya dari rumpun ilmu sosial-humaniora, teknologi, dan ilmu kesehatan.
Ia menerangkan tujuan dari riset tersebut adalah untuk mengungkapkan bagaimana pengobatan tradisional dipraktikkan dalam hubungannya dengan kehadiran pengobatan modern, yang dibawa oleh urbanisasi. Selain itu juga menemukan sejauh mana pewarisan tradisi pengobatan tradisional berperan dalam kelangsungan praktik pengobatan tradisional, khususnya di kawasan kampung urban dan periurban.
“Dari hasil riset ini kita juga mencari tahu apakah praktik ini merupakan sebentuk resistensi terhadap modernitas ataukah sejenis resistensi terhadap kerentanan, di mana keduanya merupakan akibat dari proses ekspansi urban,” ungkapnya.
Dengan sejumlah titik lokasi riset di 4 kampung urban dan semiurban di Jakarta dan Tangerang, ditemukan beberapa tantangan terkait kondisi kesehatan di masyarakat. Di antaranya adalah pergeseran dari konsumsi makanan organik ke makanan olahan dan non-organik, kualitas air yang tercemar zat besi, mangan, dan klorida, lalu prevalensi tinggi metabolisme akibat kekurangan vitamin D. Di sisi lain, mengenai permasalahan sosial, masyarakat urban dikatakannya memiliki berbagai tantangan yang perlu dihadapi, mulai dari perubahan pola pikir yang melemahkan ikatan sosial, tantangan pola hidup sehat, dan masalah mobilitas akibat besarnya arus migrasi urban.
Terkait fenomena ini, Manneke menjabarkan analisisnya bahwa semakin jauh lokasi kampung dari pusat kota, semakin kecil dampak modernitas pada komunitas kampung, seperti yang terjadi pada Kampung Markisa dan Cimone di Tangerang. Adanya ruang hijau di Kampung Markisa dan Cimone bisa menjadi faktor tingginya kecenderungan penggunaan obat tradisional di kedua lokasi tersebut. Selain itu, tidak ada penolakan kuat terhadap obat modern, meskipun persentase lebih besar penggunaan obat herbal di lokasi yang jauh dari pusat kota.
“Lokasi tersebut berada di margin kerentanan, sehingga memakai obat tradisional adalah cara menghadapi tantangan berbagai macam kekurangan yang pemenuhannya tidak berada dalam kendali mereka,” jabarnya.
Memahami ketika resistensi tidak berarti penolakan, keseimbangan antara konsumsi pengobatan modern dan tradisional yang diproduksi secara swadaya adalah cara untuk melestarikan tradisi, sekaligus menerima modernitas, dalam hal ini pengobatan modern. Hal ini juga bisa berarti menjaga sedikit kendali atas hidup mereka sendiri, sambil menerima fakta keterbatasan mereka dalam menghadapi ekspansi urban.
Ia mengatakan, “Masyarakat urban memiliki kesadaran akan kekurangannya, jadi jika susah untuk dapat obat modern maka akan memutar akal dengan menanam sendiri tanaman pengobatan herbal, untuk mengatasi masalah kesehatan”. Namun, ketika mereka mampu untuk mengakses obat modern, mereka juga akan mengonsumsinya tanpa menyatakan penolakan.
Pada kesempatan tersebut Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara memberikan pesan untuk menjadikan kegiatan tersebut sebagai inspirasi dalam menuangkan ide gagasan dalam riset. Ia juga menyampaikan, agar kita melihat soal pengobatan itu bukan hanya dari apsek medis tetapi bagaimana sosial-humaniora menafsir proses pengobatan yang ada di komunitas sebagai pewarisan tradisi.
Sementara itu, Kepala PR MLTL BRIN, Sastri Sunarti menyebutkan seri ke 2 kuliah umum ini adalah satu rangkaian kegiatan dari seri kuliah umum yang menghadirkan narasumber dari para visiting researcher, program kolaborasi BRIN dengan para peneliti dari kalangan universitas dan industri. (RBA/ed:jml)
Sumber: Klik di sini