Ruqyah, Salah Satu Pengobatan Nabawi
Di antara cara pengobatan nabawi yang bermanfaat dengan izin Allah I adalah ruqyah yang syar’i, yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Ketahuilah, Allah I menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/ penyembuh) sebagaimana firman-Nya:
“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Huruf dalam ayat di atas untuk menerangkan jenis, bukan menunjukkan tab‘idh (makna sebagian). Karena Al-Qur`an seluruhnya adalah syifa` dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya (yaitu surat Al-Fushshilat: 44).” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 7)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata ketika memberikan komentar terhadap hadits yang menyebutkan tentang wanita yang menderita ayan (epilepsi): “Dalam hadits ini ada dalil bahwa pengobatan seluruh penyakit dengan doa dan bersandar kepada Allah I adalah lebih manjur serta lebih bermanfaat daripada dengan obat-obatan. Pengaruh dan khasiat-nya bagi tubuh pun lebih besar daripada pengaruh obat-obatan jasmani.
Namun kemanjurannya hanyalah didapatkan dengan dua perkara:
Pertama: Dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat/tujuannya.
Kedua: Dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari 10/115)
Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri z tentang ruqyah dengan surat Al-Fatihah yang dilakukan salah seorang shahabat, benar-benar terlihat pengaruh obat tersebut pada penyakit yang diderita sang pemimpin kampung. Sehingga obat itu mampu menghilangkan penyakit, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Cara seperti ini merupakan pengobatan yang paling mudah dan ringan. Seandainya seorang hamba melakukan pengobatan ruqyah dengan membaca Al-Fatihah secara bagus, niscaya ia akan melihat pengaruh yang mengagumkan dalam kesembuhan.
Al-Imam Ibnu Qayyim t berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemu-kan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”
Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim t terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa` hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Sungguh Allah I telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah I. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”
Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah r dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kesurupan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah12 lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah I saja.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal no. 77)
Thibbun Nabawi Memberi Pengaruh bagi Kesembuhan dengan Izin Allah Ta’ala
Mungkin ada di antara kita yang pernah mencoba melakukan pengobatan dengan thibbun nabawi dengan minum madu13 misalnya atau habbah sauda`. Atau dengan ruqyah membaca ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah r, namun tidak merasakan pengaruh apa-apa. Penyakitnya tak kunjung hilang. Ujung-ujungnya, kita meninggalkan thibbun nabawi karena kurang percaya akan khasiatnya, lalu beralih ke obat-obatan kimiawi. Mengapa demikian? Mengapa kita tidak mendapatkan khasiat sebagaimana yang didapatkan Al-Imam Ibnu Qayyim t ketika meruqyah dirinya dengan Al-Fatihah? Atau seperti yang dilakukan oleh seorang shahabat ketika meruqyah kepala suku yang tersengat binatang berbisa di mana usai pengobatan si kepala suku (pemimpin kampung) sembuh seakan-akan tidak pernah merasakan sakit?
Di antara jawabannya, sebagaimana ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar t yang telah lewat, bahwasanya manjurnya ruqyah (pengobatan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur`an) hanyalah diperoleh bila terpenuhi dua hal:
Pertama: Dari sisi si penderita, harus lurus dan benar niat/ tujuannya.
Kedua: Dari sisi yang mengobati, harus memiliki kekuatan dalam memberi bimbingan/arahan dan kekuatan hati dengan takwa dan tawakkal.
Al-Imam Ibnu Qayyim t berkata: “Ada hal yang semestinya dipahami, yakni zikir, ayat, dan doa-doa yang dibacakan sebagai obat dan yang dibaca ketika meruqyah, memang merupakan obat yang bermanfaat. Namun dibutuhkan respon pada tempat, kuatnya semangat dan pengaruh orang yang meruqyah. Bila obat itu tidak memberi pengaruh, hal itu dikarenakan lemahnya pengaruh peruqyah, tidak adanya respon pada tempat terhadap orang yang diruqyah, atau adanya penghalang yang kuat yang mencegah khasiat obat tersebut, sebagaimana hal itu terdapat pada obat dan penyakit hissi.
Tidak adanya pengaruh obat itu bisa jadi karena tidak adanya penerimaan thabi’ah terhadap obat tersebut. Terkadang pula karena adanya penghalang yang kuat yang mencegah bekerjanya obat tersebut. Karena bila thabi’ah mengambil obat dengan penerimaan yang sempurna, niscaya manfaat yang diperoleh tubuh dari obat itu sesuai dengan penerimaan tersebut.
Demikian pula hati. Bila hati mengam-bil ruqyah dan doa-doa perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, bersamaan dengan orang yang meruqyah memiliki semangat yang berpengaruh, niscaya ruqyah tersebut lebih berpengaruh dalam menghilangkan penyakit.” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 8)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t menyata-kan, terkadang sebagian orang yang menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut.
Contoh yang paling tampak/ jelas dalam hal ini adalah Al-Qur`an, yang merupakan obat penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada. Meskipun demikian, ternyata sebagian manusia tidak mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang ada dalam dadanya. (Hal ini tentunya terjadi, -pent.) karena kurangnya keyakinan dan penerimaannya. Bahkan bagi orang munafik, tidak menambah kecuali kotoran di atas kotoran yang telah ada pada dirinya, dan menambah sakit di atas sakit yang ada.
Dengan demikian thibbun nabawi tidak cocok/ pantas kecuali bagi tubuh-tubuh yang baik, sebagaimana kesembuhan dengan Al-Qur`an tidak cocok kecuali bagi hati-hati yang baik. (Fathul Bari, 10/210)
Tentunya perlu diketahui bahwa kesembuhan itu merupakan perkara yang ditakdirkan Allah I. Dia Yang Maha Kuasa sebagai Dzat yang memberikan kesembuhan terkadang menunda pemberian kesem-buhan tersebut, walaupun si hamba telah menempuh sebab-sebab kesembuhan. Dia menundanya hingga waktu yang ditetapkan hilangnya penyakit tersebut dengan hikmah-Nya.
Yang jelas kesembuhan dapat diperoleh dengan obat-obatan jika dikonsumsi secara tepat, sebagaimana rasa lapar dapat hilang dengan makan dan rasa haus dapat hilang dengan minum. Jadi secara umum obat itu akan bermanfaat. Namun terkadang kemanfaatan itu luput diperoleh karena adanya penghalang. (Fathul Bari, 10/210)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Sumber: Asy-Syariah.com
Catatan Kaki:
1Rahthun adalah kelompok yang terdiri dari 3 sampai 10 orang
2 Qathi’, kata ahli bahasa, umumnya digunakan untuk jumlah antara 10 sampai 40. Ada pula yang berpendapat 15 sampai 25. Namun yang dimaukan dalam hadits ini adalah 30 ekor kambing sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Al-A‘masy. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 14/409, Fathul Bari 4/576)
3 Ibnu Abi Hamzah berkata: “Saat meniup disertai meludah kecil dalam meruqyah adalah setelah qira`ah, agar diperoleh barakah qira`ah pada anggota badan yang diusapkan ludah di atasnya.” (Fathul Bari, 4/576)
4 Tentang mengambil upah dalam ruqyah, bisa dilihat lebih lanjut pembahasannya dalam rubrik Kajian Utama.
5 Namun bukan berarti di sini kita mengharamkan pengobatan kimiawi, selama hal tersebut dibolehkan dan jelas kehalalannya.6 Dalam lafadz lain, disebutkan orang itu berkata:
Makna ( ) adalah banyak yang keluar dari isi perutnya yakni mencret/ diare. (Fathul Bari, 10/208)
7 Sebagaimana dalam riwayat Muslim, orang itu berkata:
“Aku telah meminumkannya madu namun tidak menambah bagi dia kecuali mencret.”
8 Maknanya, perutnya tidak pantas untuk menerima obat bahkan menolaknya. Di sini juga ada isyarat bahwa madu itu adalah obat yang bermanfaat. Adapun jika penyakit tetap ada dan tidak hilang setelah minum madu, bukan karena jeleknya madu, namun karena banyaknya unsur yang rusak dalam tubuh. Oleh karena itu Nabi r menyuruhnya untuk mengulang minum madu. (Fathul Bari, 10/209, 210)
9 Kencing unta bermanfaat khususnya untuk penyakit gangguan perut/pencernaan, sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Ibnul Mundzir dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. (Fathul Bari, 10/177)
10 Dengan cara mengeluarkan darah kotor (darah penyakit) pada bagian tubuh tertentu.
11 Kay adalah pengobatan dengan cara menempelkan sambil menekan (mencobloskan) besi panas yang membara pada bagian tubuh yang sakit.
12 Dan kebolehan di sini adalah bagi orang yang tidak meminta agar dirinya diruqyah, juga karena hukum permasalahan ini ada pembahasan sendiri.
13 Dalam hadits yang menyebutkan Nabi r menganjurkan orang yang sakit perut untuk minum madu. Pada awalnya, madu yang diminumnya tidak menghentikan penyakit yang diderita karena obat harus memiliki kadar yang seimbang dengan penyakit. Bila obatnya kurang maka tidak menghilangkan penyakit secara keseluruhan, namun bila dosisnya berlebih malah melemahkan kekuatan dan menimbulkan kemudharatan lainnya. (Fathul Bari, 10/210)
(Habis)
Simak tulisan lainnya di sini