Alahmadulillah, kami kembali berkunjung dan menambah informasi yang insya Allah bermanfaat bagi kita semua. Pada kesempatan ini kami haturkan sebuah ulasan seputar thibbun nabawi yang ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari di majalah Asy-syari’ah. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan bagi kita semua.
____________________________________________________________________________________________
Shahabat yang mulia Abu Sa‘id Al-Khudri t berkata:
“Sejumlah shahabat Rasulullah n pergi dalam sebuah safar (perjalanan) yang mereka tempuh, hingga mereka singgah di sebuah kampung Arab. Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut agar menjamu mereka, namun penduduk kampung itu menolak.
Tak lama setelah itu, kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa. Penduduknya pun mengupayakan segala cara pengobatan, namun tidak sedikit pun yang memberikan manfaat untuk kesembuhan pemimpin mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Seandainya kalian mendatangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian, mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menghilangkan sakit yang diderita pemimpin kita).” Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan shahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut, seraya berkata: “Wahai sekelompok orang, pemimpin kami disengat binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara untuk menyembuhkan sakitnya, namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki obat?” Salah seorang shahabat berkata: “Iya, demi Allah, aku bisa meruqyah. Akan tetapi, demi Allah, tadi kami minta dijamu namun kalian enggan untuk menjamu kami. Maka aku tidak akan melakukan ruqyah untuk kalian hingga kalian bersedia memberikan imbalan kepada kami.”
Mereka pun bersepakat untuk memberikan sekawanan kambing2 sebagai upah dari ruqyah yang akan dilakukan. Shahabat itu pun pergi untuk meruqyah pemimpin kampung tersebut. Mulailah ia meniup disertai sedikit meludah dan membaca3: “Alhamdulillah rabbil ‘alamin” (Surah Al-Fatihah). Sampai akhirnya pemimpin tersebut seakan-akan terlepas dari ikatan yang mengekangnya. Ia pun pergi berjalan, tidak ada lagi rasa sakit (yang membuatnya membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur).
Penduduk kampung itu lalu memberikan imbalan sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Sebagian shahabat berkata: “Bagilah kambing itu.” Namun shahabat yang meruqyah berkata: “Jangan kita lakukan hal itu, sampai kita menghadap Rasulullah n, lalu kita ceritakan kejadiannya, dan kita tunggu apa yang beliau perintahkan.” Mereka pun menghadap Rasulullah n, lalu mengisahkan apa yang telah terjadi. Beliau bertanya kepada shahabat yang melakukan ruqyah: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah itu bisa dibaca untuk meruqyah? Kalian benar, bagilah kambing itu dan berikanlah bagian untukku bersama kalian.”
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam kitab Shahih-nya no. 5749, kitab Ath-Thibb, bab An-Nafats fir Ruqyah. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya no. 5697 kitab As-Salam, bab Jawazu Akhdzil Ujrah ‘alar Ruqyah.
Beberapa faedah yang dapat kita ambil dari hadits Abu Sa‘id Al-Khudri z di atas adalah:
1. Surah Al-Fatihah mustahab untuk dibacakan kepada orang yang disengat binatang berbisa dan orang sakit.
2. Boleh mengambil upah dari ruqyah dan upah itu halal.4
3. Seluruh kambing itu sebenarnya milik orang yang meruqyah adapun yang lainnya tidak memiliki hak, namun dibagi-kannya kepada teman-temannya karena kedermawanan dan kebaikan.
4. Rasulullah r minta bagian dalam rangka lebih menenangkan hati para shahabatnya dan untuk lebih menunjukkan bahwa upah yang didapatkan tersebut halal, tidak mengandung syubhat.
Demikian faedah yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (14/410).
Pengobatan Nabawiyyah (At-Thibbun Nabawi) Bukan Pengobatan Alternatif
Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah I. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah I atas hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi kaum mukminin. Shuhaib Ar-Rumi t berkata: “Rasulullah r bersabda:
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Termasuk keutamaan Allah I yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas‘ud t, bahwasanya Rasulullah r bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggu-gurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511)
Di sisi lain, sebagaimana Allah I menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir. Rasulullah r bersabda dalam hadits Abu Hurairah z:
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Abdullah bin Mas’ud z mengabarkan dari Nabi r:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)
Jabir z membawakan hadits dari Rasulullah r:
“Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah U.” (HR. Muslim no. 5705)
Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahihsarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah I. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang ini5. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-‘Iraqi)
Karena itulah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t berkata: “Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memung-kinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi, –pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pen-cegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.”
Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara peng-obatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6, 29)
Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadi-kannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah I lewat lisan Rasul-Nya r. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi r diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba. (Fathul Bari, 10/210)
(Bersambung ke bagian dua)
Simak tulisan lainnya di sini